Oleh: Dr. M. Taufik Hidayatulloh (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor)
Apakah kita pernah merasakan naik turunnya iman dalam hidup ini, seperti pada satu waktu merasa sedang berada dalam ketaatan, dan terkadang di lain waktu merasa sedang berada dalam kemaksiatan. Kenyataan ini menggambarkan betapa sulitnya kita untuk tetap istiqomah.
Namun, dalam kondisi naik turunnya keimanan ini, ada sebuah kebijaksanaan pada doa yang diajarkan oleh panutan alam, Rasulullah SAW kepada kita. Dalam doa itu berisikan permohonan kepada Allah SWT, agar Dia meneguhkan hati kita dalam taat kepada-Nya.
Doanya itu adalah: “Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu keteguhan hati di dalam urusan (agama) ini dan kemauan yang kuat dalam mengikuti kebenaran,” (HR. Thabrani). Selain itu, dalam riwayat lain disebutkan doa serupa: “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku atas agama-Mu).” (HR. Ahmad).
Doa di atas mengandung pesan yang dalam. Ia memberitahu kita bahwa hati manusia tidaklah stabil dari waktu ke waktu, hati begitu dinamis cepat berganti warna dan suasana. Kita harus menyadari bahwa hati kita semua sesungguhnya berada dalam posisi “rentan”, antara taat atau maksiat, antara saleh atau salah.
Doa itu mengajarkan kita untuk terus memohon petunjuk Allah SWT agar hati kita tetap teguh dalam ketaatan. Pasalnya, dalam perjalanan hati manusia yang terus berubah, terdapat peran Allah SWT yang memiliki kekuatan untuk membolak-balikkan hati manusia sesuai dengan kehendak-Nya.
Meskipun kita tidak dapat memahami sepenuhnya apa yang menjadi kehendak-Nya, selain pada apa-apa yang telah diperintahkan-Nya pada kita, kita percaya bahwa Allah SWT akan memberikan yang terbaik pada kita sebagai umatnya.
Apa yang kita pahami lebih kepada sifat kulit luar pemahaman dasar semisal nuansa hati manusia yang dipengaruhi oleh keragaman manusia itu sendiri dan berbagai tantangan hidup yang dihadapinya. Dilihat dari sisi keragaman, setiap individu memiliki latar belakang, pengalaman, dan kondisi yang berbeda.
Sementara itu, tantangan hidup manusia tak kalah beragamnya, menjadikan aneka respon dilakukan manusia sebagai jawabannya. Beranjak dari itu, kita dapat mengambil pelajaran dari faktor yang mempengaruhi hati manusia, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk berubah, bisa saleh atau salah.
Dinamisnya hati manusia juga merupakan proses yang penuh liku. Ambil saja contoh terdekat pada diri kita sendiri. Kita seringkali melihat perubahan dalam diri kita, di mana saat ini kita mungkin sedang bersemangat dalam beribadah, tetapi belum tentu dapat mempertahankannya di masa depan.
Kita bisa saja jatuh ke dalam perangkap godaan untuk melakukan maksiat. Kita juga dapat berkaca pada sejarah yang memberikan banyak contoh bagaimana perubahan hati dapat terjadi.
Sosok Umar bin Khattab banyak dikaji dalam kaitan ini yang sebelumnya adalah musuh Islam, kemudian Umar mendapatkan hidayah dari Allah SWT hingga menjadi pembela Islam yang luar biasa. Kisah-kisah semacam itu mengingatkan kita untuk tidak menilai orang berdasarkan kondisi turun mereka saat ini, melainkan memberikan ruang bagi tindakan perubahan seseorang yang mungkin terjadi di masa depan.
Lebih penting lagi, kita tidak boleh merasa aman dalam kesalehan kita, sehingga kita perlu terus meminta petunjuk kepada Allah SWT agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan.
Kenyataan ini menimbulkan pemahaman yang lebih bijak, utamanya ketika melihat orang lain yang berbuat maksiat, kita tidak boleh membenci mereka. Kita hanya perlu menyadari bahwa mereka hanya dalam kondisi “sedang salah”.
Suatu saat, setelah mereka menyadari kesalahannya dapat berpotensi kembali memperbaiki dirinya menuju kepada kesalehan. Dengan demikian, kita tidak boleh merasa lebih benar dari orang lain, karena kesombongan itu hanya akan membuat kita kembali masuk kepada kondisi “kesalahan”.
Sebagai fakta, kita semua berada dalam nuansa hati yang terus berubah, laksana air pasang dan surut ke arah yang tak terduga. Itu adalah bagian yang alami sebenarnya dari keberadaan manusia. Oleh karena itu, marilah kita memahami apa yang terjadi pada hati-hati manusia.
Dalam menghadapi perbedaan, hadapi dengan sikap maklum, bila memerlukan pemberian nasehat, lakukan dengan hak dan sabar agar kita mendapat ridhaNya. Lebih dari itu, kita pun harus selalu berdoa kepada Allah agar hati kita tetap teguh dalam agama-Nya, sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah SAW di atas. Wallahu a’lam bish shawab