MUI-BOGOR.ORG – Sebentar lagi umat Islam di Indonesia akan menghadapi libur lebaran, yang biasanya digunakan untuk mudik ke kampung halaman. Jadwal mudik biasanya masih dalam suasana puasa Ramadhan. Oleh karena itu, perlu dibekali tata cara di dalam melaksanakan ibadah puasanya.
Bagi pemudik yang jarak tempuh kampung halamannya tidak sampai melebihi perjalanan 80 km atau jarak diperbolehkan mengqashar shalat, maka ia tetap wajib melaksanakan puasa. Atau walaupun jaraknya sudah mencapai jarak diperbolehkan mengqashar shalat namun perjalannya dilaksanakan di pagi hari setelah subuh, maka tetap tidak diperbolehkan membatalkan puasanya menurut pendapat yang kuat.
Adapun bagi pemudik yang jarak tempuh perjalanan ke kampung halamannya sudah melewati batas minimal diperbolehkan mengqashar shalat, maka ia diperbolehan memilih antara tetap melaksanakan puasa atau membatalkannya.
Namun mana yang lebih utama antara melanjutkan puasanya atau membatalkannya? Berikut penjelasan pandangan para ulama seputar masalah ini:
Pandangan Ulama Mazhab
- Puasa Lebih Utama daripada Membatalkan
Ulama yang berpendapat bahwa tetap melaksanakan puasa lebih utama dari pada membatalkan puasanya dengan syarat tidak memberatkan dan membuatnya lemah adalah dari kalangan mazhab Hanafī, Malikī, Syafi‘ī dan salah satu pandangan di kalangan Hanbali. Bahkan di kalangan mazhab Hanafī dan Syafi‘ī, melaksanakan puasa di saat dalam perjalanan dihukumi sunnah.
Pandangan kelompok ini sejalan dengan pendapat Hudzaifah bin al-Yamān, Anas bin Mālik, Utsmān bin Abi al-‘Ash, ‘Urwah bin Zubair, al-Aswad bin Yazīd, Abū Bakar bin Abdurrahman, Sa‘īd bin al-Jubair, al-Nakha‘ī, Fudhail bin ‘Iyādh, dan ulama lainnya.
Alasan bahwa melaksanakan puasa lebih utama dari pada meninggalkannya adalah, sebagaimana kata imam al-Ghazalī, tetap melaksanakan puasa di perjalanan lebih dicintai dari pada membatalkan, karena pelakunya terbebas dari tanggungan (melunasi hutang puasa/qadha’), kecuali apabila berpuasa dapat membahayakannya. Argumentasi yang dibangun dari pandangan ini adalah:
- Firman Allah SWT:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 184)
Ayat ini menunjukkan bahwa puasa adalah ‘azīmah sementara berbuka (tidak berpuasa) merupakan rukhshah (keringanan), dan ‘azīmah lebih utama dari pada rukhshah. Oleh karena itu, dalam pandangan Ibn Rusyd, selagi pekerjaan itu merupakan bentuk keringanan (rukhshah), maka meninggalkannya adalah lebih utama.
- Hadis Riwayat Abu Dardā’:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلا مَا كَانَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنِ رَوَاحَةَ (صحيح البخاري).
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW.di bulan Ramadhan pada hari yang sangat panas. Sehingga ada seseorang di antara kami yang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang sangat panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah dan ‘Abdullah bin Rawāhah” [HR. Al-Bukhari-Muslim].
Dari hadis ini dapat dipahami, ketika Rasulullah memilih untuk tetap berpuasa, menandakan bahwa berpuasa tetap lebih utama selagi mampu.
- Hadis riwayat Anas bin Malik:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ قَالَ فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فِي يَوْمٍ حَارٍّ أَكْثَرُنَا ظِلًّا صَاحِبُ الْكِسَاءِ وَمِنَّا مَنْ يَتَّقِي الشَّمْسَ بِيَدِهِ قَالَ فَسَقَطَ الصُّوَّامُ وَقَامَ الْمُفْطِرُونَ فَضَرَبُوا الْأَبْنِيَةِ وَسَقَوْا الرِّكَابَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ الْمُفْطِرُونَ الْيَوْمَ بِالْأَجْرِ. (رواه مسلم).
“Dulu kami pernah bepergian bersama Nabi SAW., dan di antara kami ada yang melaksanakan puasa dan ada pula yang tidak berpuasa. Kemudian di hari yang sangat terik itu kami berhenti di suatu tempat dan orang yang bisa berteduh hanyalah orang yang mempunyai pakaian, bahkan di antara kami ada orang berlindung dari sinar matahari hanya dengan tangannya saja. Maka orang-orang yang berpuasa pun berjatuhan, dan sebaliknya orang yang tidak berpuasa masih tetap tegar, masih mampu menghancurkan bangunan dan masih kuat memberi minum hewan tunggangan mereka. Maka Rasulullah SAW. pun bersabda: “Hari ini mereka yang berbuka telah menuai pahala.” (HR. Muslim)
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa, nabi tidak menyuruh sahabatnya untuk membatalkan puasanya, dan nabi sendiri tetap memilih untuk berpuasa. Sementara bagi yang tidak mampu, maka ia diperbolehkan tidak berpuasa sebagai bentuk keringanan, dan tentu wajib mengganti di luar bulan Ramadhan.
2. Tidak Puasa Lebih Utama Dari Pada Berpuasa
Pendapat ini dianut oleh madzab Hanbalī. Bahkan disunnahkan bagi orang yang melakukan perjalanan untuk membatalkan puasanya. Sebaliknya, makruh apabila tetap melaksanakan puasa, sekalipun tidak dalam kondisi kepayahan (masyaqqah). Pandangan ini sejalan dengan pandangan Ibn Umar, Ibn ‘Abbās, Sa‘īd bin al-Musayyib, al-Sya’bī, imam al-Auzā‘ī, Imam Ishāq, dan Abdul Mālik bin al-Mājisyūn dari kalangan Malikī.
Pendapat ini diperkuat dengan dalil:
- Hadis riwayat Hamzah bin Amr al-Aslamī:
يا رسولَ اللهِ، أَجِدُ بِيْ قُوَّةً على الصيامِ في السفرِ. فهل عليَّ جناحٌ ؟، فقال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: “هي رُخْصَةٌ من اللهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ. وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُوْمَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ (أخرجه مسلم)
“Wahai Rasulullah, saya mampu untuk berpuasa dalam perjalanan, apakah salah jika saya melakukannya?” Maka Rasulullah SAW. menjawab: “Itu adalah rukhshah (keringanan) dari Allah. Barang siapa yang ingin mengambilnya (tidak puasa), maka itu baik. Dan barang siapa yang senang untuk berpuasa, maka tidak ada salahnya.” (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa, melaksanakan puasa tidak masalah, namun tidak berpuasa dianggap baik. Itu artinya bahwa, meninggalkan puasa dalam kondisi safar (perjalanan) lebih baik dari pada tetap melaksanakan puasa.
- Hadis Riwayat Jābir bin Abdullah:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر. فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قد ظُلِّلَ عليه، فقال: “ما هذا؟ قالوا: صائم. قال: لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ”. وفي لفظ لمسلم: “عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ الله الَّذِي رَخَّصَ لكم”. (متفق عليه).
“Rasulullah SAW. ada dalam suatu perjalanan. Lalu beliau melihat kerumunan orang dan seorang lelaki yang sedang dinaungi. Lantas beliau bertanya, “Kenapa ini?” Mereka menjawab, “Orang ini berpuasa.” Beliau bersabda, “Tidak termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan.” Dalam lafal Muslim disebutkan, “Hendaknya kalian mengambil keringanan Allah yang telah diperbolehkan untuk kalian.” (HR. al-Bukhari-Muslim).
3. Tidak Ada yang Lebih Utama
Bagi seseorang yang dalam kondisi safar, maka ia boleh memilih antara tetap melaksanakan puasa atau membatalkan. Tidak ada yang lebih utama antara memilih tetap berpuasa atau membatalkan puasanya. Pendapat ini diperkuat dengan hadis riwayat Aisyah:
إن حمزة بن عمر الأسلمي قال للنبي صلى الله عليه وسلم: “أأصوم في السفر؟ -وكان كثير الصيام- قال : “إن شئت فصم، وإن شئت فأفطر”. (متفق عليه)
“Sungguh Hamzah bin ‘Amr al-Aslamī pernah bertanya kepada Rasulullah SAW.: “Apakahsaya berpuasa di waktu safar? -sementara Hamzah merupakan orang yang banyak melakukan puasa- Maka beliau bersabda: “Jika engkau menghendaki, silahkan berpuasa. Dan jika engkau menghendaki, silahkan berbuka” [HR. al-Bukhari-Muslim).
Hadis ini memberikan kebebasan kepada Hamzah, antara melaksanakan puasa atau tidak, padahal ia tidak dalam kondisi kepayahan dan bahkan ia sudah terbiasa sering melaksanakan puasa. Ini artinya bahwa tidak ada yang lebih utama antara memilih tetap berpuasa atau meninggalkannya bagi orang yang sedang dalam perjalanan.
4. Yang Lebih Utama Adalah yang Lebih Memudahkan dan Meringankan
Menurut imam Mujahid, Umar bin Abdul Aziz, imam Qatādah, dan diikuti oleh Ibn Mundzir bahwa yang lebih utama antara tetap melaksanakan puasa atau membatalkan adalah yang lebih memudahkan dan meringankan.
Mencari Titik Temu
Menurut imam Nawawī dan Ibn Humām, hadis-hadis yang menunjukkan keutamaan berbuka (membatalkan puasa lebih utama) sangat dimungkinkan berkonotasi pada orang yang dapat membahayakan jiwanya jika tetap melaksanakan puasa, dan sebagian hadis yang lain menyebutkan secara eksplisit hal semacam itu, sehingga membutuhkan takwil untuk mengkompromikan antara hadis-hadis seputar masalah ini, yang tentu ini lebih utama dari pada menyia-nyiakan sebagian hadis.
Jika dilakukan kompromi, maka akan memunculkan pendapat sebagai berikut jika melaksanakan puasa dalam kondisi safar tidak membahayakan pelakunya, maka yang lebih utama adalah tetap melaksanakan puasa. Namun jika dengan berpuasa dapat membahayakan atau membuat pelakunya kepayahan (masyaqqah), maka diperbolehkan membatalkan puasanya. Inilah pendapat yang dianut oleh mayoritas Masyarakat Indonesia sebagai penganut maazhab Syafi’ī.
Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga bermanfaat.
Referensi:
- Al-Majmu’ karya Imam Nawawī
- Al-Mausū’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah
- Maktabah Syamilah

Sebelumnya:
Puasa sebagai Ikhtiar Mendekati Sifat Ilahi