MUI-BOGOR.ORG – Puasa, lebih dari sekadar menahan diri dari makanan dan minuman, merupakan sebuah praktik ibadah yang lazim dilakukan oleh umat Muslim setidaknya sebulan dalam setahun.
Namun, di tengah-tengah pelaksanaan ibadah rutin tersebut, kita sering kali merenung: mengapa seseorang yang berpuasa harus dapat menahan diri tidak hanya dari kebutuhan fisik dasar, tetapi juga harus dapat mengendalikan diri dari berbagai kecenderungan nafsu?
Sebagaimana Allah SWT tidak membutuhkan makanan, minuman, dan kebutuhan lainnya, apa relevansi dan hubungannya dengan puasa? Mengapa kemampuan seseorang yang berpuasa untuk menahan diri dari kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa membuatnya merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta?
Puasa adalah upaya untuk mencontoh sifat-sifat Allah SWT, sekurangnya berupa tidak makan, tidak minum, tidak beranak dan diperanakkan. Makanya puasa mensyaratkan (direpresentasikan dengan syarat sah puasa) dapat menahan diri dari makan, minum dan berhubungan intim.
Mereka yang mampu mengendalikan diri dalam kebutuhan-kebutuhan mendasarnya itu diharapkan dapat mengendalikan nafsu (termasuk syahwat) yang berada di zona sekunder dan tersier (sebagaimana teori Maslow, misalnya: rasa aman, harta, jabatan, prestise, penghargaan, dan seterusnya).
Penekanan pada kata “sekurangnya” pada pernyataan di atas (paragraf keempat) menunjukkan hanya permisalan dari keharusan untuk berusaha mencontoh seluruh sifat-sifatNya.
Puasa merupakan instrumen untuk mengontrol naluri alamiah dalam pemenuhan kebutuhannya dengan cara menahan tiga jenis kebutuhan fisiologis (kebutuhan jasmani utama). Mengapa naluri yang bebas dari manusia dapat membahayakan diri dan lingkungan sosial sekitar?
Sebagai contoh, dalam pemenuhan kebutuhan makan saja, kita mengenal Hukum Gossen Pertama, yakni jika pemuasan kebutuhan terhadap suatu barang dilakukan secara terus menerus maka hal tersebut akan mencapai titik kejenuhan yang akan mengakibatkan kepuasan manusia berkurang.
Dengan demikian maka semakin ditambah pemuasan nafsu manusia (kebutuhan dasar), ia akan semakin haus saja (merasa kurang dan kurang), padahal berakibat sakit setelahnya. Ia dengan demikian menabrak norma kesehatan.
Belum dalam pemenuhan nafsu atau syahwat seperti mengumpulkan harta, tahta atau prestise yang dapat menjerumuskan seseorang pada perilaku hina dan tercela akibat menabrak norma agama atau norma hukum, seperti mencuri atau korupsi sebagai misal. Hal ini tentu dapat menghambat pelaksanaan peran manusia sebagai khalifah fil ardh (wakil Allah SWT di muka bumi).
Bagaimana agama memberikan solusinya? Agama menjawab melalui pemberlakuan syariat puasa. Tidak tanggung-tanggung, bahkan agama dalam hal ini memberikan jaminan kabar gembira terhadap kepuasan apa yang akan diperoleh seorang hamba yang berpuasa.
Hal tersebut dengan jelas disabdakan Nabi SAW bahwa ada dua kegembiraan bagi mereka yang berpuasa, yaitu di saat berbuka (di dunia) dan saat menemui Tuhannya (di akhirat) (HR. Bukhari dan Muslim).
Melalui berpuasa inilah akan tercapai kepuasan rohaniah yang secara jangka panjang dapat mengatasi kepuasan jasmaniah sesaat. Karenanya, nafsu amarah dan lawwamah pun (jenis nafsu destruktif) akan menjadi nafsu yang muthmainah, yaitu nafsu yang diridhai Allah SWT.
Di saat seperti itulah sesungguhnya seseorang akan merasakan keikhlasan, kesabaran, kesyukuran atas semua anugerah tiada terbatas yang diperoleh dariNya. Melalui nafsu yang terkendali hasil pelaksanaan syariatnya yang agung inilah, seorang hamba pada akhirnya akan dapat mencontoh banyak sifat-sifat Allah SWT.
Semoga kita dapat melakukannya. Aamiin. Wallahu a’lam bi as-shawab

Sebelumnya:
Sepuluh Keutamaan Bulan Suci Ramadhan