MUI-BOGOR.ORG – Setiap memasuki bulan suci Ramadhan, ada saja segelintir orang yang mempersoalkan bilangan shalat tarawih. Sebetulnya tidak ada masalah, karena memang tidak ada hadis yang menyebutkan secara pasti terkait bilangan rakaat shalat tarawih.
Namun hal ini menjadi masalah ketika berebut stigma “paling nyunnah” dan yang lain salah. Maka di sini penting untuk dibahas bagaimana argumentasi para ulama seputar bilangan rakaat shalat tarawih.
- Shalat Tarawih Dilaksanakan 8 Rakaat
- Hadis Riwayat ‘Aisyah:
ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة. (رواه البخاري)
“Nabi tidaklah menambah shalat di bulan Ramadhan dan tidak pula di selainnya melebihi 11 rakaat” (HR. al-Bukhari).
Tentu hadis ini masih multi tafsir karena pada masa nabi belum dikenal istilah shalat tarawih. Pada masa nabi, shalat malam Ramadhan biasa dikenal dengan sebutan qiyāmu Ramadhan, sehingga 11 rakaat dalam hadis di atas bisa berkonotasi pada shalat tarawih plus witir, atau bisa berkonotasi pada shalat witir saja.
- Hadis Riwayat Imam Malik dalam kitab Muwatthā’, dari Sāīb bin Yazīd:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. قَالَ: وَكَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إلا فِي بُزُوغِ الْفَجْرِ.
“Umar bin Khatthab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamīm al-Dārī untuk mengimami orang-orang dengan 11 rakaat. Dalam pelaksanaannya, imam shalat (qāri’) membaca seratusan ayat (dari awal al-Anfāl hingga akhir al-Sajadah), hingga kami berpegangan pada tongkat karena lamanya berdiri, dan mereka tidak berpaling (tidak meninggalkan masjid) hingga menjelang fajar.”
- Menurut Al Kamal bin al-Humām:
Menurutnya, shalat malam Ramadhan yang disunnahkan sebanyak 11 berserta witir, yang dikerjakan secara berjemaah. Itulah yang dilakukan nabi kemudian ditinggalkan karena adanya udzur, yaitu khawatir diwajibkan kepada umatnya.
Boleh jadi, andaikan nabi tidak khawatir, niscaya nabi akan melaksanakan bersama-sama dengan para sahabat. Tentu, setelah wafatnya nabi, kekhawatiran akan diwajibkannya shalat malam tidak terjadi lagi sehingga hukumnya menjadi sunnah dengan bilangan 11 rakaat.
2. Shalat Tarawih Dilaksanakan 20 Raka’at
Pelaksanaan tarawih dengan 20 rakaat sudah dilakukan oleh umat Islam seantoro dunia secara terus menerus dan berlanjut hingga hari ini. Adapun argumen seputar pelaksanaan tarawih sebanyak 20 rakaat sebagai berikut:
- Pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafī, Syāfi’ī, Hanbalī dan sebagian Mālikī:
Mereka berpendapat bahwa, bilangan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat. Hal ini merujuk pada sunnah Umar bin Khatthab yang mengumpulan masyarakat untuk melaksanakan shalat tarawih dengan bilangan 20 rakaat secara terus menerus tiap datang bulan Ramadhan, dilaksanakan secara berjemaah, dan tidak seorang pun yang mengingkarinya sehingga menjadi kesepakatan bersama (ijmā’ sukūtī).
- Riwayat Imam Malik dari Yazid bin Rūmān:
كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً. (أخرجه مالك)
“Di zaman Umar bin Khatthab, orang-orang melaksanakan shalat (qiyam Ramadhan) sebanyak 23 rakaat.”
Menurut imam Baihaqī, al-Bājī dan lainnya, yang dimaksud dengan 23 adalah 20 rakaat shalat tarawih dan yang 3 adalah shalat witir. Hal ini diperkuat oleh Riwayat Sāīb bin Yazīd bahwa masyarakat pada masa Umar bin Khatthab melaksanakan shalat sebanyak 20 rakaat.
- Dalam sunan Tirmidzi dijelaskan:
وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري، وابن المبارك، والشافعي، وقال الشافعي: وهكذا أدركت ببلدنا بمكة يصلون عشرين ركعة
“Kebanyakan ahli ilmu atas apa yang diriwayatkan dari Umar dan Ali serta selain keduanya dari sahabat nabi SAW. (bahwa bilangan shalat tarawih) sebanyak 20 rakaat, adalah pendapat al-Tsaurī, Ibn Mubārak, imam Syāfi’ī. Imam Syāfi’ī berkata, “Seperti inilah yang saya temui di negara kami, Mekah. Mereka (penduduk Mekah) melaksanakan shalat (tarawih) sebanyak 20 rakaat.”
- Bagaimana dengan hadis riwayat Aisyah, bahwa nabi tidaklah menambah shalat di bulan Ramadhan dan tidak pula di selainnya melebihi 11 rakaat?
Kemungkinan yang dimaksud hadis tersebut adalah shalat witir bukan shalat tarawih. Karena dalam redaksi hadis, selain menyebutkan Ramadhan juga menyebutkan di luar Ramadhan, dan shalat yang dikerjakan di luar Ramadhan adalah shalat witir.
Sementara shalat tarawih hanya dikerjakan di bulan Ramadhan tidak di luar Ramadhan. Adapun shalat witir dengan bilangan 11 rakaat, dapat dibenarkan dengan hadis Riwayat Abu Hurairah, ia berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أوتروا بخمس أو سبع أو تسع أو إحدى عشر ركعة” (رواه الحاكم والبيهقي)
“Rasulullah SAW. bersabda, shalat witirlah kamu lima, tujuh, Sembilan atau sebelas rakaat.” (HR. Hakim dan Baihaqi).
- Riwayat Umar bin Khatthab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamīm al-Dārī untuk melaksanakan shalat dengan 11 rakaat
Adapun Riwayat yang menjelaskan tentang Umar bin Khatthab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamīm al-Dārī untuk melaksanakan shalat bersama orang-orang dengan 11 rakaat, menurut al-‘Adawi pelaksaan shalat sebanyak 11 rakaat merupakan perintah awal, yang kemudian berubah menjadi 20 rakaat.
Sementara menurut al-Bājī, kemungkinan Umar menyuruh untuk melaksanakan shalat sebanyak 11 rakaat dengan bacaan yang panjang. Namun ketika masyakaratnya merasa kepayahan dengan shalat yang panjang, maka Umar menyuruh untuk melaksanakan 23 rakaat dengan cara yang ringan, tanpa bacaan yang terlalu panjang, tetapi dengan cara menambah rakaat agar tidak mengurangi keutamaannya.
3. Shalat Tarawih Dilaksanakan 36 Raka’at
Pada masa khalifah Usman, atau Mu’awiyah, atau Umar bin Abdul Aziz, shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 36 rakaat dan belum termasuk shalat witir.
Menurut kalangan mazhab Syāfi’īi, penduduk Madinah melaksanakan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat, untuk menyamai keutamaan penduduk Mekah yang dalam pelaksanaan shalat tarawihnya, mereka melaksanakan thawaf sebanyak tujuh putaran yang dilakukan di antara dua istirahat shalat.
Tentu hal ini tidak boleh dilakukan oleh selain penduduk Madinah menurut pendapat yang lebih shahih. Walau ada pendapat yang menghukumi tetap baik bagi yang mengikuti penduduk Madinah dalam melaksanakan tarawih sebanyak 36 rakaat.
Menurut Mazhab Hanbalī, bilangan shalat tarawih tidak kurang dari 20 rakaat, dan tidak mengapa lebih dari 20 rakaat.
Bahkan terkadang shalat tarawih dilaksanakan tidak terbatas bilangannya. Abdullah bin Ahmad (putra imam Ahmad bin Hanbal) berkata, “Saya melihat ayah saya melaksanakan shalat di bulan Ramadhan yang tidak bisa saya hitung (saking banyaknya), dan Abdurrahman bin Aswad melaksanakan shalat tarawih sebanyak 40 rakaat dan selah itu melaksanakan shalat witir sebanyak tujuh rakaat.
Konklusi
Sebagai penutup, menarik untuk menjadi perhatian bersama apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah:
وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يُزَادُ فِيهِ وَلا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Barangsiapa yang menyangka bahwa menghidupkan (shalat qiyam) Ramadhan dibatasi dengan bilangan dan waktu dari nabi, yang tidak boleh ditambah dan dikurangi, maka sungguh persangkaan itu salah.”
‘Alā kulli hal, tidak ada bilangan pasti terkait dengan rakaat shalat tarawih, maka hendaknya kita saling menghargai pilihan rakaat shalat tarawih yang dilaksanakan; yang memilih 8 rakaat atau 20 rakaat ditambah 3 witir sehingga menjadi 11 atau 23 rakaat sama-sama baik, yang tidak baik adalah yang tidak melaksanakan shalat tarawih padahal pahalanya sangat besar. Wallahu a’lam bish-shawāb.
Referensi:
- Al-Mausū’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 27/141-144.
- Badāi’ al-Shanāi’, Maktabah Ilmiyah Bairut, 1/288.
- Al-Muntaqī syarh al-Muwattha’, 1/208.
