Mengapa Suriah Harus Dihancurkan?

Mengapa Suriah Harus Dihancurkan? Pasukan pemberontak berhasil menguasai ibukota Damaskus, Suriah , Senin 8 Desember 2024 (AP/Photo: Hussien Malla)

Oleh: KH. Khariri Makmun, Lc., MA. (Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri MUI Kabupaten Bogor/Peneliti di Moderation Corner, Jakarta).

KH. Khariri Makmun, Lc., MA. Foto: www.panatadipantara.or.id

MUI-BOGOR.ORG – Konflik di Suriah bukan hanya persoalan domestik yang melibatkan perlawanan terhadap pemerintahan Bashar al-Assad. Konflik ini mencerminkan pertarungan geopolitik yang lebih luas, di mana berbagai kepentingan besar berusaha menguasai peta politik Timur Tengah. Dalam kerangka ini, Suriah menjadi korban dari berbagai skenario internasional yang dirancang untuk melemahkan perannya sebagai salah satu negara kunci dalam resistensi terhadap dominasi Israel dan sekutu Baratnya.

Salah satu alasan utama mengapa Suriah menjadi target penghancuran adalah dukungannya terhadap kelompok perlawanan Palestina di Gaza, khususnya Hamas. Senjata dan roket yang digunakan Hamas untuk menyerang Israel banyak yang berasal dari Suriah. Fakta ini membuat Israel ketakutan, terutama atas ancaman yang dapat menjangkau Tel Aviv. Namun, peran Suriah tidak hanya sampai di situ. Negara ini menjadi pusat dari poros resistensi di Timur Tengah yang menghubungkan Iran, Hizbullah di Lebanon, dan kelompok-kelompok perlawanan di Palestina. Menghancurkan Suriah berarti memutus rantai perlawanan ini.

Suriah menjadi panggung bagi berbagai aktor dengan kepentingan yang saling bertabrakan. Di satu sisi, ada aliansi Suriah, Iran, dan Rusia yang mempertahankan status quo pemerintah Assad. Di sisi lain, ada Amerika Serikat, Israel, dan koalisinya, termasuk Turki dan negara-negara Teluk, yang mendukung kelompok oposisi bersenjata seperti Hai’atu Tahrir al-Sham (HTS).

Israel melihat Suriah sebagai ancaman strategis karena dukungannya terhadap Hamas dan Hizbullah. Dengan melemahkan Suriah, Israel berharap mengurangi kemampuan kedua kelompok ini untuk mendapatkan suplai senjata. Selain itu, Israel memiliki ambisi besar untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah. Slogan mereka yang terkenal, “Dari Nil hingga Eufrat,” mencerminkan visi jangka panjang yang bertujuan menguasai kawasan. Penghancuran Suriah adalah bagian dari strategi besar untuk memastikan dominasi Israel atas Timur Tengah yang terfragmentasi.

Pasukan pemberontak berhasil menguasai ibukota Damaskus, Suriah , Senin 8 Desember 2024 (AP/Photo: Hussien Malla)

Bagi Amerika Serikat, Suriah adalah medan pertempuran untuk melemahkan pengaruh Iran dan Rusia. Kedua negara ini adalah pendukung utama Assad, dan keberadaan mereka di Suriah menjadi tantangan langsung bagi kepentingan AS di kawasan. Dengan mendukung pemberontak seperti HTS dan pasukan Demokratik Suriah (SDF), AS berupaya menciptakan “negara dalam negara” di Suriah, memecah belah wilayahnya, dan melemahkan pemerintahan pusat di Damaskus.

Turki, di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdoğan, memanfaatkan konflik di Suriah untuk memperluas pengaruhnya di wilayah utara. Dukungan Ankara terhadap kelompok oposisi bersenjata di Idlib dan Aleppo mencerminkan ambisi regional Turki untuk menjadi kekuatan dominan di kawasan. Namun, langkah ini justru memperpanjang konflik dan memperburuk penderitaan rakyat Suriah.

Krisis di Suriah diperparah oleh dinamika internasional yang membuat negara ini semakin rentan. Rusia, sebagai pendukung utama Assad, tidak bisa sepenuhnya fokus membantu Suriah karena terlibat dalam perang besar dengan Ukraina. Keterlibatan militer Rusia di Suriah telah menurun, memberikan celah bagi Amerika Serikat dan Israel untuk meningkatkan tekanan terhadap Damaskus.

Iran, meskipun tetap menjadi sekutu utama Suriah, menghadapi tekanan besar dari Israel dan negara-negara Teluk. Serangan udara Israel terhadap fasilitas militer Iran di Suriah telah mengganggu kemampuan Teheran untuk memberikan bantuan secara konsisten. Perang berkepanjangan telah menghancurkan infrastruktur ekonomi Suriah. Mata uangnya terjun bebas, sementara rakyatnya menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Dalam situasi seperti ini, pemerintah Assad semakin bergantung pada bantuan dari Rusia dan Iran, yang juga memiliki keterbatasan.

Pejuang anti pemerintah Suriah membanjiri kota Hama pada hari Jumat. (Muhammad Haj Kadour/Agence France Presse)

Skenario Fragmentasi: Membelah Suriah

Salah satu strategi utama yang digunakan oleh lawan-lawan Suriah adalah menciptakan fragmentasi wilayah. Negara ini, yang memiliki luas sekitar 185.000 kilometer persegi, kini terpecah menjadi beberapa entitas: Pertama, Wilayah Pemerintah Assad : Meliputi sebagian besar wilayah barat dan selatan, termasuk Damaskus dan Aleppo. Kedua, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) : Didukung oleh Amerika Serikat, kelompok ini menguasai wilayah timur laut, termasuk daerah kaya minyak. Ketiga, Kelompok Oposisi Bersenjata : Seperti HTS, yang menguasai wilayah Idlib dan sekitarnya, dengan dukungan Turki. Keempat, Kelompok Teroris dan Militan : Seperti ISIS, yang meskipun melemah, masih aktif di beberapa wilayah.

Fragmentasi ini membuat Suriah semakin sulit untuk bersatu, memperpanjang konflik, dan membuka jalan bagi dominasi Israel di kawasan. Penghancuran Suriah bukan hanya tentang menggulingkan Bashar al-Assad. Ada tujuan yang lebih besar yang dipertaruhkan, yaitu menciptakan Timur Tengah yang rapuh, di mana tidak ada satu pun negara Arab yang cukup kuat untuk menantang Israel. Dalam skenario ini, Israel akan menjadi kekuatan dominan di kawasan, sementara negara-negara Arab lainnya terjebak dalam konflik internal dan ketidakstabilan.

Kejatuhan Rezim Assad akan berpengeruh langsung terhadap Palestina. Dengan melemahkan Suriah, Israel berharap dapat mengisolasi Hamas dan Hizbullah, dua kekuatan utama yang menantang dominasi mereka di Palestina. Sementara Jordania, Negara ini mungkin menjadi target berikutnya dalam skenario penghancuran kawasan. Ketergantungan ekonomi dan militernya pada Barat membuat Jordania rentan terhadap tekanan geopolitik. Sedangkan Lebanon kita semua tahu bahwa ketidakstabilan di Suriah memberikan efek domino ke Lebanon, yang sudah menghadapi krisis ekonomi dan politik.

Apa yang terjadi di Suriah adalah pengingat bahwa Timur Tengah selalu menjadi medan pertempuran kepentingan global. Negara-negara di kawasan ini harus waspada terhadap upaya divide et impera yang dilakukan oleh kekuatan asing. Fragmentasi hanya menguntungkan pihak-pihak yang ingin mendominasi kawasan. Untuk menghadapi ancaman ini, negara-negara Timur Tengah perlu memperkuat solidaritas regional dan membangun resistensi terhadap dominasi asing.

Hanya dengan bersatu, kawasan ini dapat menjaga kedaulatannya dan melindungi masa depan generasi mendatang. Konflik berkepanjangan di Suriah hanya akan menciptakan penderitaan bagi rakyatnya dan ketidakstabilan bagi kawasan. Upaya diplomasi yang melibatkan semua pihak, termasuk Rusia, Iran, Turki, dan Amerika Serikat, sangat penting untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Suriah adalah simbol dari resistensi terhadap dominasi Israel dan sekutunya di Timur Tengah. Menghancurkan Suriah berarti menghapus salah satu benteng terakhir perlawanan di kawasan ini. Namun, konflik ini juga menunjukkan bagaimana kekuatan besar menggunakan negara-negara kecil sebagai pion dalam permainan geopolitik mereka.

Kita harus tetap waspada terhadap skenario yang dirancang untuk melemahkan kawasan ini. Apa yang terjadi di Suriah hari ini bisa menjadi gambaran tentang masa depan Timur Tengah secara keseluruhan. Jika tidak ada upaya nyata untuk menghentikan konflik dan membangun solidaritas regional, maka skenario yang sama bisa terjadi di tempat lain, dengan konsekuensi yang lebih besar. (*)

Sumber: www.panatadipantara.or.id