
Oleh: Dr. M. Taufik Hidayatulloh, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
MUI-BOGOR.ORG – Isu tentang agama dan pemakaian simbol keagamaan di tempat umum adalah wacana lawas sekaligus kontroversi yang sudah sejak lama terjadi di Perancis.
Perdebatan ini melibatkan berbagai pandangan yang beragam, dengan beberapa kelompok menyuarakan pentingnya pemisahan agama dan negara, sementara yang lain mempertahankan hak individu untuk menunjukkan identitas keagamaan mereka kepada masyarakat umum.
Sejarah masa lalu telah menjadikan masyarakat Perancis berkultur anti agama. Kultur ini sudah ada sejak abad ke 18, di mana ketika itu Perancis menganggap agama sebagai sumber perang dan sumber kesulitan sosial.
Hal itu dipicu oleh peristiwa seperti Revolusi Perancis pada tahun 1789 dan berbagai peristiwa perubahan sosial dan politik lainnya yang terjadi beriringan dengan itu, menyebabkan monarki dan institusi agama dianggap telah menggunakan kekuasaan melewati batas.
Hingga lahirlah para pemikir pencerahan pada saat itu, seperti Voltaire yang mempopulerkan pemikiran sekuler sekaligus sebagai upaya keras mengkritisi kinerja institusi agama. Dampaknya, masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi.
Termasuk dalam hal penggunaan atribut agama di ruang publik dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan nyawa penganutnya, karena dapat menjadi sumber konflik antar komunitas beragama.
Tak heran bila Perancis melarang pemakaian kerudung di sekolah negeri sejak 2004. Menyusul pada 2010, Perancis melarang pemakaian niqab alias kerudung bercadar di tempat umum.
Kejadian yang paling terdekat yaitu pada tanggal 28 Agustus 2023, Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal melarang pemakaian abaya (Jubah yang panjang dan lebar) di sekolah.
Larangan ini menuai kritik dan kecaman dari Dewan Kepercayaan Muslim Prancis. Hal itu merupakan kelanjutan dari peristiwa pada 30 Maret 2021 saat senat Perancis mengusulkan pelarangan gadis 18 tahun mengenakan hijab di depan hijab.
Semua itu “dibaca” publik sebagai menarget Muslim yang masih minoritas. Sebentuk tekanan itu telah membuat Muslim pendatang melaksanakan praktek Islam seakan-akan memegang bara api.
Di antara sekian screen shoot kehidupan Muslimah di Perancis, baik disebabkan faktor internal atau eksternal digambarkan melalui cerita berikut ini.
Alkisah, tersebutlah seorang gadis bercadar berdiri di antrian untuk membayar. Setelah beberapa menit gilirannya membayar di meja kasir. Perempuan kasir yang tidak berhijab mulai memindai barang belanjaan dari si gadis bercadar satu persatu lalu kemudian dia berkata, “Kita punya banyak masalah di Perancis … cadarmu adalah salah satu di antaranya.!!” “Kami imigran berada di sini untuk bekerja dan tidak menunjukkan agama atau asal-usul kita. Jika ingin mempelajari agama dan memakai cadar, kembalilah ke negara Arab dan lakukan yang kau inginkan.”
Si Gadis bercadar berhenti lalu memasukkan belanjaannya ke dalam tas kemudian melepaskan cadarnya. Perempuan kasir itu terguncang! Gadis bercadar dan bermata biru itu mengatakan, “Saya seorang gadis Perancis, bukan seorang imigran Arab. Lebih jelasnya, Ini adalah negara kelahiranku dan saya merupakan seorang Muslim …”
Cerita diatas mungkin tidak sepenuhnya akurat, namun setidaknya menggambarkan fakta yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa, bahwa tidak sedikit para mualaf yang memiliki iman lebih kuat, bahkan melebihi seseorang yang telah menjadi Muslim sejak lahir.
Tanpa bermaksud menghakimi “kelemahan komitmen keislaman” gadis penjaga kasir supermarket di banding “komitmen berislam” gadis bercadar penduduk lokal, maka bisa dipahami keduanya sebagai bentuk respon Muslim terhadap kebijakan di sana dan bagaimana pandangan “aneh” terhadap Islam bukan saja muncul dari luar, tetapi juga secara nyata datang dari dalam pemeluknya sendiri.
Kita dengan tidak ragu melihat dalam kasus ini Islam menjadi seperti zaman awal kemunculannya di Arabia, yang asing dan aneh. Nabi SAW dalam hal ini telah bersabda: “Dan Islam akan kembali dalam keadaan asing sebagaimana mulanya ia datang” (HR. Muslim).
Perbedaannya, dulu ajaran dan praktek Islam dianggap asing oleh orang-orang kafir quraisy, sekarang ini bahkan ikut juga dianggap asing oleh pemeluknya sendiri, oleh orang yang telah menjadi Muslim sejak lahir.
Semoga fenomena “keterasingan” atau islamophobia dari kalangan internal ini tidak menjadikan kita semua sebagai salah satu dari bagiannya, karena kita akan mengalami kerugian besar bila hal itu terjadi (sebagaimana HR. Muslim). Wallahu a’lam bi as-shawab