Oleh: Drs. KH. Moh. Husnuddin (Ketua MUI Kabupaten Bogor/Dosen Ilmu Tasawuf Pendidikan Kader Ulama)
Semua manusia dalam kehidupannya di dunia akan mengalami berbagai macam ujian, godaan dan rintangan dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah. Tak terkecuali manusia-manusia mulia seperti para nabi, para aulia, orang-orang shalih dan para penempuh jalan ruhani (salikin). Bahkan yang menimpa mereka lebih berat dan dahsyat dibanding yang lainnya. Ini adalah skenario indah dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT untuk menampakan hamba-hamba-Nya yang istimewa (Ayyukum ahsanu ‘amala).
Imam Ghazali rahimahullah dalam Kitab Minhajnya menyebut ada empat godaan yang membuat banyak orang terlena dan berujung tragis dalam hidupnya, yaitu: dunia, makhluk, syetan dan nafsu. Dan diantara yang empat itu yang sangat berbahaya dan merusak adalah nafsu (ammarah bis su’i). Alasannya nafsu tidak bisa dihilangkan secara total karena sudah menjadi bagian dari diri manusia dan susah sekali mengendalikannya. Disamping nafsu sudah menjadi kendaraan syetan yang ideal dalam usahanya menggoda dan menggelincirkan banyak manusia
Dalam hikmahnya ini Ibnu ‘Athaillah memberi arahan kepada siapa saja yang sedang menempuh perjalanan ruhani atau menuju kehidupan yang diridhai Allah agar selalu mengontrol nafsunya. Sebab nafsu yang tidak terkontrol akan menjadi penghalang (hijab) keharmonisan antara Khalik dan makhluk. Sikap dan prilakunya tidak mencerminkan sebagai hamba Allah yang sejati akan tetapi cenderung menjadi budak harta, jabatan dan kekuasaan.
Bisa jadi kegiatannya tidak lepas dari ibadah namun tujuannya ingin mendapatkan pengakuan orang banyak bahwa dirinya orang shalih. Malamnya tidak tidur sibuk membaca wirid-wirid dan siangnya berpuasa namun motifnya ingin mendapatkan kemampuan supranatural (khawariq al-‘adat) dan menyandang gelar orang sakti.
Atau posisinya ditengah-tengah masyarakat sebagai orang alim, guru atau da’i namun dibalik hatinya ada target kepentingan duniawi. Atau mungkin kedudukannya sebagai pejabat publik dan pengayom masyarakat namun ambisi utamanya meraup keuntungan pribadi. Dan masih banyak orang-orang yang ditempatkan Allah dalam posisi-posisi tertentu yang seharusnya menjadi wasilah lebih dekat dengan Allah tetapi karena mengikuti hawa nafsunya maka semakin jauh dari Allah.
Oleh karena itu, seseorang yang ingin semua aktivitasnya semata-mata karena Allah dia harus mensterilkan nafsunya (tazkiyatun nafs) dari aib-aib (penyakit batin). Syekh Abu Abdurahman as-Sulami rahimahullah menuturkan dalam kitabnya ‘Uyûb an-Nafsi sebagian besar dari aib-aib itu ialah:
Merasa dirinya selamat padahal banyak maksiat, Bergantung kepada makhluk dalam memenuhi hajatnya, Menghentikan ibadah, Tidak merasakan lezatnya beribadah, Tidak menyukai kebenaran, Menikmati bisikan-bisikan buruk, Lalai dan santai dalam kebaikan, Sibuk dengan keburukan orang lain, Lebih perhatian mengurus kecantikan fisik, Malas bekerja, mencari ilmu untuk bahan kesombongan, Banyak bicara tak berguna, Senang pujian dan benci kritikan, Suka mengkhayal, Gemar ikut campur urusan dunia, Tamak, Ambisius dalam kemegahan dunia, Selalu merespon positif bisikan hawa nafsunya, Suka membalas dendam, Prihatin dalam urusan rizki, Memperbanyak dosa, Menuruti hawa nafsu, Menganggap baik ibadah yang sudah dilakukan, Merasa aman dari godaan syetan, Jarang mengambil pelajaran dari suatu kejadian, Malas mengerjakan perintah kebaikan seseorang, Menyia-nyiakan waktu dalam hal-hal yang kurang bermanfaat, Suka marah dan berdusta, Pelit, serakah dan iri dengki, Kontinyu berbuat dosa sambil berharap rahmat dan ampunan dari allah, Merasa diri lebih hebat dari orang lain, Menganggap sepele perkara syubhat, dan Tertipu dengan banyak karomah yang ada pada dirinya.
Aib-aib nafsu itu sangat halus, tidak jarang orang-orang yang merasa dirinya sehat padahal batinnya sakit. Karenanya perlu cara untuk mengetahuinya. Syekh Ibnu ‘Ubad rahimuhllah dalam karyanya Ghaits al-Mawâhib al-‘Aliyyah menukil dari Kitab Riyâdhah an-Nafsi karya Imam Ghazali rahimahullah menawarkan empat cara agar seseorang dapat mengetahui aib-aib dirinya, yaitu:
- Berguru kepada seseorang yang ahli dalam bidang qalbu (guru mursyid) yang nantinya akan mengarahkan dan memberikan isyarat.
- Memilih teman yang jujur yang bisa mengawasi gerak geriknya dan mengingatkan ketika ada kesalahan yang dilakukan.
- Mengambil faidah dari ucapan musuh yang mencelanya.
- Mengambil contoh dan pelajaran ketika bergaul dengan orang-orang.
Walhasil ketika seseorang mampu mensterilkan aib-aib dirinya (takhalli) dan menggantinya dengan akhlak mulia (tahalli) maka janji Yang Maha Benar (al-Haq) menyambutnya, “Sungguh beruntung orang yang membersihkan dirinya, lalu dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat”. (al-A’lâ : 14) “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (asy-Syams : 9-10) “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya” (al-Fajr : 27-28).
Wallâhu A’lam Bish-Shawâb
Note: Artikel ini diambil dari Majalah Kalam Ulama Edisi ke 25